Beberapa
waktu yang lalu saya menerima surat dari sebuah instansi. Salah satu hal yang
menarik perhatian saya selain isi dari surat itu adalah kertas kecil dengan
motif bergambar yang menempel di pojok kanan atas amplop itu.
Kami
yang lahir di tahun 90’an sepakat menyebut kertas itu sebagai perangko.
Nama yang sudah jarang sekali saya dengar di era sekarang. Saking lamanya
istilah itu tidak terdengar dalam percakapan manusia modern sampai-sampai ibu
saya kesulitan membedakan mana Perangko mana Materai. Terlebih Materai sekarang
juga macam-macam jenisnya, harganya, dan kekuatan hukumnya. Harap maklum jika
beliau kesulitan membedakannya. Mungkin karena bukan Perangko ataupun Materai
yang saat ini beliau butuhkan; tapi mantu.
Apa
sih !
Perangko
yang menempel di amplop itu membuat saya beberapa saat terdiam. Lalu dengan
hati-hati mencoba melepasnya. Saat saya
sedang bersusah payah melepas perangko itu, tiba-tiba pikiran saya berputar
jauh ke masa lalu. Ke sebuah masa dimana saya kecil yang sejatinya memiliki
gaya hidup urakan, liar, dan lepas kendali, ternyata memiliki hobi yang sangat
bermartabat; koleksi perangko. Imut sekali bukan.
Imutnya
sama kayak cowok yang badannya gede, tatoan, rambutnya gondrong, tapi hobinya
nonton drama korea Goblin. Apa-apaan !
Well,
saya
suka mengoleksi perangko gara-gara waktu itu rumah saya sering dijadiin transit
surat menyurat untuk orang-orang di sekitar. Udah kayak kantor pos aja ni
rumah. Saya sangat tertarik, karena perangko memiliki berbagai macam gambar.
Alhasil, jadilah saya kumpulkan dan tempelkan satu per-satu perangko di buku
khusus.
Jika
dulu anak-anak sekelas di SD ditanyain apa hobinya ? Mayoritas anak-anak cowok bakal
menjawab; main bola ! Sedangkan anak-anak cewek akan menjawab; main
boneka ! Maka waktu itu saya jadi pembeda, saya jawab; koleksi perangko
!
Tsaaah...
semuanya melongo. Saya nelen ludah. Pahit. Gak ada yang percaya.
Oke,
mungkin level fanatisme saya sebagai kolektor perangko belum sampai level garis
keras. Iya, garis keras – adalah mereka yang mengoleksi perangko lebih dari
sekedar motif dan gambarnya saja, tapi juga memerhatikan diameter porforasi
perangko. EDAN ! Mereka percaya perangko dengan detail ukuran porforasi
tertentu bisa bernilai fantastis secara materil. Bagaimanapun juga waktu itu saya adalah anak SD, saya tidak mungkin mikir sejauh itu. Dulu... mikirin bagaimana
caranya bikin rambut belah tangah yang berimbang aja dah pusing.
Lalu
apa inti dari postingan ini ?
Simpel,
saya kangen era itu. Melihat perangko sebagai saksi sejarah atas sistem
komunikasi yang sangat sederhana, jujur, dan apa adanya. Bagaimana bisa dulu
orang sekedar menanyakan kabar melalui surat, lalu baru akan mendapatkan
balasannya seminggu, sebulan, atau bahkan setahun kemudian. Tanpa pernah ia
tahu saat surat itu diterima, bisa saja yang mengirim surat sedang sekarat.
Bagaimana
bisa dulu sepasang kekasih yang dipisahkan oleh jarak bisa bertahan. Sedangkan
kerinduan seakan sudah tidak bisa dibendung lagi. Seolah berusaha menjaga
kepercayaan dengan menulis surat cinta untuk kekasih di lain kota, tanpa pernah
tahu sebenarnya sekarang kekasihnya benar-benar masih mencintainya atau
diam-diam sudah menemukan sandaran hati yang lain.
Terpujilah...
mereka yang bertahan melalui masa-masa sesulit itu.
Rasanya,
lagu Kangen-nya Dewa 19 adalah satu-satunya hal yang menentramkan muda-mudi di zaman
surat menyurat. Betapa mahal dan berharganya komunikasi di era itu. Jangan
heran jika kalian menemukan mereka anak-anak angkatan lama lebih mensyukuri
sebuah proses komunikasi. Surat menyurat sudah mengajarkan semuanya ! Perangko
saksinya !
Gak
kayak anak zaman sekarang, yang rentan galau. Rentan gusar. Rentan gundah. Ah
apalah itu. Padahal komunikasi di era ini sudah sangat memanjakan. Kita bisa
saling bertukar kabar dan hanya dalam hitungan detik sudah mendapati
jawabannya.
Bagaimana
bisa kalian merasa sangat menderita saat whatsapp sudah centang dua,
sudah dibaca, tapi gak di bales. Bisa saja dia kuotanya abis kan, sampai gak
sempet bales.
Bagaimana
bisa kalian merasa sangat putus asa saat nge-whatsapp si-dia sudah
centang dua, dan masih belum dibaca juga. Padahal last seen-nya sedang
online. Bisa aja dia lagi sibuk di grup wa kantornya kan.
Bagaimana
bisa kalian merasa sangat sebal saat tahu ternyata si-dia sengaja mematikan
fitur read, biar gak kelihatan mana yang sudah dibaca mana yang belum.
Bisa aja dia gitu biar bisa fokus kerja, dan pada akhirnya demi kebaikanmu juga
kan.
Bagaimana
bisa dengan segala kemudahan berkomunikasinya, kalian tumbuh menjadi generasi
yang tidak percayaan. Seakan-akan chat tidak pernah cukup untuk
menjelaskan. Sampai-sampai menuntut dikirim gambar dengan dalih no pict =
hoax. Tidak peduli apakah si dia lagi jalan sama temennya atau lagi bab di
wc.
Bagaimana
bisa kalian sedepresif itu kawan. Lihatlah ke belakang. Jauuuuh kebelakang. Ada
generasi yang lebih menderita dari kalian. Ketahuilah kegalauan kalian belum
ada apa-apanya. Sungguh belum ada secuil pun.
Intinya,
jaga dan syukuri komunikasi kalian. Bertumbuhlah dengan prasangka yang baik.
Biasakan percaya kepada orang lain. Sadarilah, orang lain kadang juga butuh
waktu untuk sendiri. Satu hal, komunikasi yang memudahkan kadang juga
melelahkan. Meskipun lelahnya belum seberapa dibanding dengan era dimana surat
berjaya.
Tidak
peduli kalian berasal dari generasi apa, pesan saya; syukuri... syukuri... dan
syukuri. Terimalah komunikasi sebagai nikmat Tuhan yang tidak boleh kita
ingkari.
Gw baca buku lu "JOMBLO SAURUS " dan gw ngakak -.-
BalasHapusbetul tu mas
BalasHapushaha, dulu juga suka banget ngoleksi perangko, nyari gambar yang imut-imut warna ungu gitu
BalasHapusMas update lagi dong blognya. Saya tuh suka, postingannya tuh lucu2. Kalo sy bete, saya baca blog ini dong. Terhibur!
BalasHapusIni sampe udah sy bacain semua blognya dong. Kok gak da yg baru?