Selamat malam,
Bagaimana kabarmu ? Sahabatku ?
Semoga kamu dalam keadaan baik-baik saja. Kau tahu pandemi ini sangat menyiksaku, aku frustasif melihat keadaan ini, hidup serba terbatas, serba diatur, prokas prokes prokas prokes ! Tapi ada yang lebih aku khawatirkan. Keadaanmu !
Aku yakin kamu pasti tidak percaya. Hehee
Tapi aku mohon sekali ini saja beri aku kesempatan untuk kamu percaya. Sekali saja. Aku mengkhawatirkanmu. Titik.
Jadi aku ulangi sekali lagi pertanyaanku. Bagaiamana keadaanmu ? Baikah ? Sehatkah ? Semoga kamu salah satu dari sekian juta orang yang selamat dari wabah ini. Amiin.
Oh ya, kamu ingat kapan terakhir kita ketemu ?
Ah pertanyaan bodoh. Maaf aku salah mengajukan pertanyaan yang pasti jawabannya sudah kamu lupa.
Jika pertanyaanya, kamu ingat kapan terakhir kita bertutur sapa dalam chat, dm atau sejenisnya ?
Keledai ! Kenapa mengulang pertanyaan bodoh yang serupa. Sudah pasti dia tidak ingat lah boy !
Barangkali sudah terlalu lama semuanya berlalu aku sampai malu harus memulai dari pertanyaan-pertanyaan apa yang bisa membuat kita bisa cair mengobrol. Tanpa mempersoalkan hal-hal kacau yang telah kita lalui. Bisa gak sih kita seperti manusia normal kembali, seperti dua orang sahabat yang saling berkomunikasi secara wajar, saling melihat status harian satu sama lain, saling mensuport kehidupan satu sama lain. Bisa kan ? Bisa dong. Pliis.
Oke mungkin permohonanku terlalu naif setelah apa yang pernah aku lakukan kepadamu sahabatku. Entah sampai kapan aku mengucap seribu, sejuta, semiliar, setriliun maaf untukmu. Lebay ! Tapi demikian adanya. Bahwa aku ingin kamu sebagai sahabatku memaafkan segala kekhilafanku. Sungguh aku dalam masa-masa yang sulit waktu itu. Aku hanya tidak ingin kamu ikut terjebak dalam kubangan lumpur kesulitan itu. Biarkan aku sendiri yang menanggungnya, dalam kesendirian, dan memastikan kamu tetap dalam zona nyamanmu dengan kehidupan barumu.
Barangkali kamu tidak mengetahuinya, dan mungkin tidak pernah ingin mengetahuinya. Tapi kehidupanku setelah ayah pergi, sangat sulit, dihadapkan pada persimpangan-persimpangan hidup yang rumit. Yang aku ingat saat itu aku mempersibuk diri dengan komunitasku, menulis buku yang aku yakin tidak akan pernah sebagus sebelumnya, mengajar yang tidak sesemangat biasanya, dan benar sejatinya aku sangat kosong dan hampa berjuang sendirian. Tapi kemudian teringat, bahwa kamu tidak boleh ikut merasakan terpuruknya hidupku hari itu. Bersitku, kamu harus bahagia tanpa perlu repot-repot memikirkan titik terendah hidupku.
Maaf sahabat,
Aku yakin kamu pasti menghakimi aku sebagai orang yang paling tega, paling menyebalkan, atau bahkan pembunuh berdarah dingin yang tidak punya perasaan. Apapun penghakiman yang kamu berikan, aku siap atas semua tuduhan-tuduhan itu, bahkan jika tuduhan itu kamu publikasikan di media masa sekalipun aku rela jika itu kamu yang menulisnya. Silahkan, aku hanya ingin meluruskan lagi bahwa situasiku sangat sulit, sangat sangat sulit. Untuk kedua kalinya, aku mohon percayalah padaku tentang ini.
Maaf sahabat,
2021, mungkin sudah terlalu lama untuk menulisnya. Tapi umur yang semakin menua, menjadi orang tua, memiliki anak membuat aku semakin menyadari bahwa segala salah salama apapun harus selalu diperjuangkan maafnya. Aku tidak ingin kesalahan serupa menimpa pada anak-anakku. Sahabatku jika engkau sepakat denganku, aku mohon berikan maaf untukku. Beri komentar tulisan ini, atau kirimi aku email, bahwa kamu memaafkanku.
Meski aku sadar bahwa tulisanku ini dibaca olehmu sangat kecil. Mungkin hanya nol koma sekian persen kamu membacanya. Dan bahkan ketika membacanya kamu akan berpikir ratusan kali untuk memaafkan dan menuliskannya. Tapi dari sekian kemungkinan kecil tersebut aku berharap kamu melakukannya. Lagian aku aneh mana ada manusia zaman sekarang yang baca blog, disaat segala yang instan dan menghibur hanya bisa dengan dilihat dan didengarkan tanpa dibaca.
Maaf sahabatku,
Jika kamu membaca tulisan ini, maaf ya tulisanku sudah menghabiskan waktumu yang seharusnya dihabiskan untuk merawat keluargamu. Maaf ya. Assalamualaikum....