Kamis, 09 Maret 2017

Generasi Surat-menyurat VS Generasi Whatsapp



Beberapa waktu yang lalu saya menerima surat dari sebuah instansi. Salah satu hal yang menarik perhatian saya selain isi dari surat itu adalah kertas kecil dengan motif bergambar yang menempel di pojok kanan atas amplop itu.

Kami yang lahir di tahun 90’an sepakat menyebut kertas itu sebagai perangko. Nama yang sudah jarang sekali saya dengar di era sekarang. Saking lamanya istilah itu tidak terdengar dalam percakapan manusia modern sampai-sampai ibu saya kesulitan membedakan mana Perangko mana Materai. Terlebih Materai sekarang juga macam-macam jenisnya, harganya, dan kekuatan hukumnya. Harap maklum jika beliau kesulitan membedakannya. Mungkin karena bukan Perangko ataupun Materai yang saat ini beliau butuhkan; tapi mantu.

Apa sih !

Perangko yang menempel di amplop itu membuat saya beberapa saat terdiam. Lalu dengan hati-hati mencoba melepasnya.  Saat saya sedang bersusah payah melepas perangko itu, tiba-tiba pikiran saya berputar jauh ke masa lalu. Ke sebuah masa dimana saya kecil yang sejatinya memiliki gaya hidup urakan, liar, dan lepas kendali, ternyata memiliki hobi yang sangat bermartabat; koleksi perangko. Imut sekali bukan.

Imutnya sama kayak cowok yang badannya gede, tatoan, rambutnya gondrong, tapi hobinya nonton drama korea Goblin. Apa-apaan !

Well, saya suka mengoleksi perangko gara-gara waktu itu rumah saya sering dijadiin transit surat menyurat untuk orang-orang di sekitar. Udah kayak kantor pos aja ni rumah. Saya sangat tertarik, karena perangko memiliki berbagai macam gambar. Alhasil, jadilah saya kumpulkan dan tempelkan satu per-satu perangko di buku khusus.

Jika dulu anak-anak sekelas di SD ditanyain apa hobinya ? Mayoritas anak-anak cowok bakal menjawab; main bola ! Sedangkan anak-anak cewek akan menjawab; main boneka ! Maka waktu itu saya jadi pembeda, saya jawab; koleksi perangko !

Tsaaah... semuanya melongo. Saya nelen ludah. Pahit. Gak ada yang percaya.

Oke, mungkin level fanatisme saya sebagai kolektor perangko belum sampai level garis keras. Iya, garis keras – adalah mereka yang mengoleksi perangko lebih dari sekedar motif dan gambarnya saja, tapi juga memerhatikan diameter porforasi perangko. EDAN ! Mereka percaya perangko dengan detail ukuran porforasi tertentu bisa bernilai fantastis secara materil. Bagaimanapun juga waktu itu saya adalah anak SD, saya tidak mungkin mikir sejauh itu. Dulu... mikirin bagaimana caranya bikin rambut belah tangah yang berimbang aja dah pusing. 

Lalu apa inti dari postingan ini ?

Simpel, saya kangen era itu. Melihat perangko sebagai saksi sejarah atas sistem komunikasi yang sangat sederhana, jujur, dan apa adanya. Bagaimana bisa dulu orang sekedar menanyakan kabar melalui surat, lalu baru akan mendapatkan balasannya seminggu, sebulan, atau bahkan setahun kemudian. Tanpa pernah ia tahu saat surat itu diterima, bisa saja yang mengirim surat sedang sekarat.

Bagaimana bisa dulu sepasang kekasih yang dipisahkan oleh jarak bisa bertahan. Sedangkan kerinduan seakan sudah tidak bisa dibendung lagi. Seolah berusaha menjaga kepercayaan dengan menulis surat cinta untuk kekasih di lain kota, tanpa pernah tahu sebenarnya sekarang kekasihnya benar-benar masih mencintainya atau diam-diam sudah menemukan sandaran hati yang lain.

Terpujilah... mereka yang bertahan melalui masa-masa sesulit itu.

Rasanya, lagu Kangen-nya Dewa 19 adalah satu-satunya hal yang menentramkan muda-mudi di zaman surat menyurat. Betapa mahal dan berharganya komunikasi di era itu. Jangan heran jika kalian menemukan mereka anak-anak angkatan lama lebih mensyukuri sebuah proses komunikasi. Surat menyurat sudah mengajarkan semuanya ! Perangko saksinya !

Gak kayak anak zaman sekarang, yang rentan galau. Rentan gusar. Rentan gundah. Ah apalah itu. Padahal komunikasi di era ini sudah sangat memanjakan. Kita bisa saling bertukar kabar dan hanya dalam hitungan detik sudah mendapati jawabannya.

Bagaimana bisa kalian merasa sangat menderita saat whatsapp sudah centang dua, sudah dibaca, tapi gak di bales. Bisa saja dia kuotanya abis kan, sampai gak sempet bales.

Bagaimana bisa kalian merasa sangat putus asa saat nge-whatsapp si-dia sudah centang dua, dan masih belum dibaca juga. Padahal last seen-nya sedang online. Bisa aja dia lagi sibuk di grup wa kantornya kan.
Bagaimana bisa kalian merasa sangat sebal saat tahu ternyata si-dia sengaja mematikan fitur read, biar gak kelihatan mana yang sudah dibaca mana yang belum. Bisa aja dia gitu biar bisa fokus kerja, dan pada akhirnya demi kebaikanmu juga kan.

Bagaimana bisa dengan segala kemudahan berkomunikasinya, kalian tumbuh menjadi generasi yang tidak percayaan. Seakan-akan chat tidak pernah cukup untuk menjelaskan. Sampai-sampai menuntut dikirim gambar dengan dalih no pict = hoax. Tidak peduli apakah si dia lagi jalan sama temennya atau lagi bab di wc.

Bagaimana bisa kalian sedepresif itu kawan. Lihatlah ke belakang. Jauuuuh kebelakang. Ada generasi yang lebih menderita dari kalian. Ketahuilah kegalauan kalian belum ada apa-apanya. Sungguh belum ada secuil pun.

Intinya, jaga dan syukuri komunikasi kalian. Bertumbuhlah dengan prasangka yang baik. Biasakan percaya kepada orang lain. Sadarilah, orang lain kadang juga butuh waktu untuk sendiri. Satu hal, komunikasi yang memudahkan kadang juga melelahkan. Meskipun lelahnya belum seberapa dibanding dengan era dimana surat berjaya.

Tidak peduli kalian berasal dari generasi apa, pesan saya; syukuri... syukuri... dan syukuri. Terimalah komunikasi sebagai nikmat Tuhan yang tidak boleh kita ingkari.

Salam.

Senin, 27 Februari 2017

Fase Hidup Lagu-lagu Banda Neira



Banda Neira. Siapa sih yang gak tahu band indie beraliran folks yang satu ini. Kalau kamu serius beneran gak tahu, berarti ada yang salah dengan selera musikmu.

Oke, maaf saya mengawali postingan ini dengan cukup provokatif. Harap maklum jika saya emosional, soalnya Band yang akan saya review kali ini sudah bubar. Iya, kayak hubungan kita.

*skiiiiip*

Sekilas info aja buat lu yang masih belum tahu Banda Neira. Banda Neira adalah sebuah proyek musik iseng yang digarap dengan serius. Band ini hanya digawangi oleh dua orang: Ananda Badudu & Rara Sekar. Dianggap proyek main-main, karena band ini awalnya hanya sebagai kegiatan selingan disela-sela kesibukan Ananda Badudu yang merupakan wartawan Tempo dan Rara Sekar yang aktif di LSM.


Menarik ketika Banda Neira sebagai sebuah proyek iseng ternyata memiliki lagu-lagu dengan lirik berkualitas. Iseng tapi hasilnya berkuaitas. Iya, gak kayak kita ya... udah serius tapi hasilnya nihil.

*delete scene*

Selama Banda Neira eksis, banyak lagu-lagu yang sudah mereka ciptakan. Puisi-puisi legendaris yang mereka lagukan juga semakin menempatkan Banda Neira ke dalam jajaran Band yang tidak pernah main-main untuk urusan lirik.

Menurut saya, yang menarik dari Banda Neira adalah lagu-lagunya tidak melulu ‘menjelmakan’ diri sebagai ‘remaja’ yang dimabuk cinta. Tapi kadang juga ‘menjelma’ menjadi seorang ‘sahabat’, kadang juga menjadi ‘orang tua’ yang merindukan anaknya. Bahkan juga ‘menjelma’ sebagai sepasang kekasih yang menua bersama – sampai jadi debu. Singkat kata, lagu-lagu Banda Neira seperti gambaran fase hidup manusia, yang secara tidak langsung membuat Band ini memiliki pangsa pasaran yang luas. Hahaha.

###

Berikut ini adalah lagu-lagu Banda Neira yang paling sering saya dengarkan:

#Hujan di Mimpi

Lagu yang satu ini agak telat masuk di playlist saya dibanding dengan lagu-lagu Banda Neira yang lain. Sentuhan musiknya khas Banda Neira banget. Permainan petikan gitar dan dua vokal Ananda Badudu dan Rara Sekar yang saling mengisi semakin membuat lagu ini begitu menghanyutkan. Terutama untuk mereka yang mulai jatuh cinta.

“Semesta bicara tanpa bersuara.
Semesta ia kadang buta aksara.
Sepi itu indah... percayalah.
Membisu itu... anugerah.
Seperti hadirmu di kala gempa.
Jujur dan tanpa bersandiwara.
Teduhnya seperti hujan di mimpi.
Berdua kita berlari.”

#Utarakan

Adalah salah satu lagu dari Album Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti. Di lagu ini hanya ada vokal dari Ananda Badudu. Mungkin semacam perwakilan dari semua kegalauan kaum adam – utarakan. Lagu yang mengajak kita untuk jujur mengatakan apa yang tengah kita rasakan. Meskipun kadang mengutarakan sesuatu tidak semudah yang kita bayangkan.
“Dan hari ini takkan kau menangkan.
Bila kau tak berani mempertaruhkan.
Walau tak semua tanya datang beserta jawab.
Dan tak semua harapan terpenuhi.
Ketika berbicara juga sesulit diam.
Utarakan... utarakan... utarakan.”
#Ke Entah Berantah
Mungkin ini lagu Banda Neira yang pertama kali saya dengar. Gegara salah satu radio terlalu sering memutar lagu ini. Lagu yang ketika pertama kali mendengarkannya, saya butuh waktu berkali-kali untuk mencerna liriknya.

“Dan kawan.
Bawaku tersesat ke entah berantah.
Tersaru antara nikmat atau lara.
Berpeganglah erat, bersiap terhempas ke tanda tanya.”

#Esok Pasti Jumpa (Kau Keluhkan)

Selanjutnya lagu ini juga beberapa kali coba saya dengarkan berulan-ulang. Pilihan kata dalam liriknya membuat saya untuk terus menerus menekan tombol repeat. Lagu yang mewakili jiwa-jiwa sepi yang menangung terlalu banyak rindu. Sebut saja, ini adalah lagu kebangsaannya kaum LDR. Sabar ya... esok pasti jumpa.

“Kau keluhkan sunyi ini tanpa ada yang menemani.
Kau keluhkan risau hati yang tak kunjung berhenti.
Rasa itu kau rindu.
Dan kau inginkan tuk segera tiba.
Dan kembali bermimpi.
Hanyut dalam hangatnya pelukan cahaya matahari.”

#Rindu

Adalah sebuah musikalisasi dari puisi Subagio Sastrowardoyo. Juga salah satu lagu yang saya dengarkan lebih awal daripada lagu-lagu lain. Sebagai sebuah sunatulloh rasanya rindu tidak pernah membuat kita baik-baik saja. Bener gak ?

“Rumah kosong.
Sudah lama ingin dihuni.
Adalah teman bicara.
Siapa saja atau apa.
Jendela, kursi, atau bunga di meja.
Sunyi.
Menyayat seperti belati.”

#Di Beranda

Mungkin ini lagu Banda Neira yang paling dewasa – just in my opinion. Lagu yang membuat saya mengingat bagaiman kedua orang tua saya mengkhawatirkan anaknya dengan berlebihan. Kadang menyadarakan, mungkin kelak saya pun akan demikian. Kita tidak pernah tahu, mungkin banyak hal-hal yang saat muda sangat kita benci seperti dikekang dan kelak diam-diam akan kita terapkan juga kepada anak-anak kita. Percaya ? Tinggal tunggu waktunya saja. Selamat menua...

“Usahlah kau pertanyakan kemana kakinya kan melangkah.
Kita berdua pasti tahu, dia pasti pulang ke rumah..”

#Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti

Mungkin ini salah satu lagu yang paling nge-hits di kalangan anak muda penikmat Banda Neira. Judul yang cukup emosional bagi kalangan depresif yang baru saja ditimpa patah hati, kehilangan, atau semacamnya. Lagu ini recomended banget untuk siapa saja yang sudah tidak memiliki figur seorang teman untuk sekedar menyemangati pasca patah hati. Lagu ini adalah penghibur diri yang bermartabat. Lagu ini menjual mimpi yang secara terang-terangan kita amini. Akui saja!

“Yang hancur lebur akan terobati.
Yang sia-sia akan jadi makna.
Yang terus berulang suatu saat henti.
Yang pernah jatuh kan berdiri lagi.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.”

#Derai-derai Cemara

Lagu kesekian dari Banda Neira yang merupakan proyek musikalisasi puisi. Adalah puisi legendaris Chairil Anwar, Dera-derai cemara (1949). Sebut saja, Banda Neira berhasil membuat musikalisasi yang lues untuk puisi se-legend ini. Semacam ikut merasakan kegetiran Chairil Anwar diakhir hidupnya.

“Cemara menderai sampai jauh.
Terasa hari akan jadi malam.
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh.
Dipukul angin yang terpendam.”

#Sampai Jadi Debu

Lagu penutup, yang mewakili alur hidup dari lagu-lagu Banda Neira. Sampai jadi debu, diam-diam membuat kita berharap dapat memilih orang yang tepat untuk bisa menua bersama.

“Tiap pagi menjelang, kau di sampingku.
Ku aman ada bersamamu.
Selamanya.
Sampai kita tua.
Sampai jadi debu.”

###

Singkat kata, postingan ini saya dedikasikan untuk Banda Neira yang sudah menyehatkan telinga saya. Lebih dari itu, terima kasih sudah mengajarkan saya merayakan jatuh cinta dengan sederhana dan mengikhlaskan patah hati dengan bijaksana.

Salam...