Minggu, 12 Oktober 2014

GGS : Gara Gara Serigala



Jika saya tanya, apa sih acara tv yang paling berpengaruh untuk saat ini selain acara joget-jogetan dan tukang bubur naik daun..?

Pasti dengan kompak, kalian akan menjawab.

GGS !!!!

Ganteng-ganteng Seringgila ! Eh bukan, Serigala maksudnya.

Saking berpengaruhnya, sekarang semua orang-orang disekitar saya rusak gara-gara sinetron itu ! Terutama,anak-anak.

Banyak anak-anak kecil tetangga saya yang keranjingan dengan sinetron itu. Terbukti, sekarang gaya hidup anak-anak tetangga saya sudah tidak lagi sewajarnya anak-anak.

Dari yang tadinya, pulang ngaji langsung main bola. Sekarang beda. Mereka lebih milih bermain ‘peran’ serigala-serigalaan. Mereka mengelompok, lalu salah satu memulai ‘akting’ mengaung, dan teman lainnya kompak mengikutinya. Aungannya persis seperti serigala kehabisan paket internet bulanan. 

(Emang, ada ya serigala yang berlangganan paket internet ?)

Kalau saya dengerin sih, aungan mereka sama sekali gak menggambarkan serigala. Tapi lebih mirip suara bencong kebanyakan ngirup gas beracun. Niatnya sih serem, eh jatohnya jijik. Yaudah, namanya juga anak kecil.

Hampir setiap hari, saat saya pulang ngajar, anak tetangga pasti lagi mengaung. Saya tidur siang, bangun sore harinya, mereka masih tetap mengaung. Saat saya mau berangkat siaran, mereka juga masih tetap mengaung. Begitu seterusnya, sampai kiamat.

Gue gak tahu sampai kapan mereka akan berhenti mengaung. Kadang, kalau kesabaran saya sudah habis, saya berdoa jelek :

Tuhan... ambil mereka Tuhan....!! 

Fix, saya seperti tinggal di kampung yang penuh dengan mutan.

Serem ?

Iya, serem. Serem kalau saya ketularan begitu juga.

Luar biasa memang, pengaruh sinetron GGS. 

Namun ada kalanya juga sih menemui momen anak-anak tetangga tidak lagi mengaung. Mereka tidak mengaung, tapi menyanyi. Tepatnya, menyanyikan lagu-lagu original soundtrack sinetron itu. Kabar baiknya : mereka hafal betul dengan lagunya. Kabar buruknya : kualitas suaranya fals campur parau.

Kemarin, saya dengerin mereka nyanyi sampai selesai. Tau-tau kuping saya berdarah. Mungkin kalau saya dengerin sekali lagi pada kesempatan berikutnya, gendang telinga saya jebol !

Sempat saya berpikir, mungkin mereka sudah kehilangan pita suara. Gara-gara kebanyakan mengaung. Kasihan, mereka harus kehilangan suara di usia sebelia itu.

Kampretnya adalah, keponakan saya ketularan juga. Oke, meskipun saat sedang berada disamping saya, si Keponakan tidak pernah mengaung. Tidak mengaung bukan karena takut dengan saya, tapi lebih karena minder. Soalnya saya mengaku Raja Serigala, dan dia bawahannya.

(Eh, saya ketularan juga kan !!)

Pada suatu sore saya ingin mengajak si Keponakan untuk JJS.

Saya  : “Dek, JJS yuk...” kata saya dengan semangat penuh kebapak-an.
Ponakan : “JJS.....?” tanya si Keponakan polos.
Saya      : “Iya, JJS. Tahu kan, JJS..?”
Ponakan : “Owh, JJS. Iya.. iya.. iya.. asyik...”

Akhirnya si Keponakan ‘ngeh’ juga.
Saya      : “Nah itu tahu JJS...” Saya merasa lega.
Ponakan : “JJS... Jalan Jalan Serigala kan...” kata Keponakan enteng tanpa merasa berdosa.

Saya denger Keponakan bilang gitu. Huft, bawaannya saya pengin jalan-jalan wisata ziarah ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Berkabung atas begitu banyaknya korban dari acara-acara gak mutu.



Ternyata, keresahan-keresahan semacam itu gak hanya dirasakan oleh saya. Teman kuliah saya juga merasakan keresahan yang sama. Kebetulan doi orangnya pemalu, jadi hanya mau disebutin inisialnya saja. Inisialnya ‘A’ tepatnya ‘Arum’. *eh kelepasan

Doi curcol tentang anak didiknya. Kebetulan doi dah ngajar juga di salah satu SD ternama di Planet Mars. Doi prihatin dengan sikap anak didiknya, terutama yang anak kelas 1. Saat istirahat, anak didiknya tidak lagi bermain sebagaimana layaknya anak seorang manusia.

Jadi saat istirahat sela-sela pelajaran, anak didiknya tidak lagi bermain kasti, sepak bola, dan permainan anak kecil lainnya. Tapi, mereka lebih memilih bermain akting ‘gigit-gigitan’ ala drakula.

Semua anak didiknya saling mengigit leher satu sama lain.

(Saya mencoba membayangkan, tapi yang ada dipikiran saya malah lebih mirip adegan asusila ‘nyupang’ ala anak SD. Oke fokus..)

Alhasil, si Arum pun sedih melihat tingkah anak didiknya. Padahal saat kuliah dia berharap bisa mengajar di kelas anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Tapi kenyataannya, malah dia mengajar di kelas anak drakula.

Kasihan.

Kabar terakhir yang saya dengar dari Arum sih, dia masih hidup. Persisnya saya gak tahu, apakah dia sudah menjadi salah satu korban gigitan anak didiknya apa enggak. Semoga dia baik-baik saja disana..

Amien.

Saya yakin, diluar sana masih banyak yang merasakan keresahan-keresahan yang sama. Seperti yang saya dan Arum rasakan. 

Lagi-lagi gara-gara acara TV. Sebegitu kuatnya TV mempengaruhi anak-anak. Terlebih anak-anak adalah masa yang dalam ilmu sosiologi disebut dengan istilah fase imitasi. Pada fase ini, anak-anak akan meniru orang-orang disekitarnya (dari apa yang dia lihat).

Saya akui, dulu pun saya mengalami fase itu. Fase bermain peran, meniru apa yang saya lihat. Tapi, dulu kan bermain perannya masih logis. Berperan penjahat dan pahlawan. Lah sekarang ? Bermain peran manusia Serigala dan Drakula !

Bahkan, konon ada lagi acara TV yang entah namanya apa, pacarku manusia harimau atau manusia macan, saya gak tahu persisnya. Terus konon akan ada juga sinetron 7 manusia harimau. Makin aneh lagi ternyata. Mungkin pemeran utama serial tv itu kecilnya kebanyakan makan biskota, eh bukan, biskuat ding.. dan gedenya jadi manusia harimau.

Tanpa sadar, adik-adik kita sedang dilatih untuk ‘tidak pede’ sebagai manusia seutuhnya. Tidak pede sebagai manusia yang notabene adalah mahluk paling sempurna. Adik-adik kita lebih merasa ‘keren’ saat bisa menjadi seperti ‘manusia serigala’. 

Dulu, saya merasa keren saat saya bisa berlaga seperti super hero dalam negeri macam ‘Wiro Sableng dan Gatot Kaca’ menolong orang-orang yang tertindas. Sedangkan sekarang adik-adik kita lebih merasa keren saat berlaga seperti manusia jadi-jadian yang tidak lagi berjuang atas nama keadilan, tapi lebih karena percintaan.

Jangan kaget kalau kelak mereka akan menjadi generasi yang serba hitung-hitungan, menolong tapi ada maunya, tidak ada lagi semangat ‘heroik’ di dalam hatinya.

So, kita jangan terlalu banyak menaruh harapan sama pihak KPI agar menghentikan acara-acara semacam itu. Karena itu adalah hal yang mustahil akan terjadi. Mustahilnya sama kayak kita berharap kepada Syahrini untuk berhenti pake bedak.. jangan harap deh.

Banyak lobi-lobi kepentingan bisnis didalamnya, tidak peduli berapa banyak korban dari acara-acara murahan itu. (Kabarnya juga, Spongebob belum lama ini di’block’ dari TV).

Lalu siapa lagi yang bisa menghentikan semua ini. Kita ! kita sebagai orang tuanya, kakaknya, ataupun saudaranya lah yang bisa meng-ngerem ini. Kita kawal perkembangan anak-anak kita. Jangan sampai tumbuh menjadi generasi-generasi yang ‘menakutkan’.
 
Pilihlah acara-acara TV yang membimbing anak-anak. Dampingi mereka saat menonton TV. Berikan terus ‘petuah-petuah’ kepada mereka supaya perkembangan mereka terjaga.

Finally, gara-gara serigala.. kita harus segera melakukan hal itu mulai sekarang juga !! Sebelum semuanya terlambat...

See u next post...