Kamis, 18 September 2014

Catatan Setahun Mengudara



Jangan dikira jadi penyiar itu gampang. Nih saya baru saja selesai siaran 3 jam. Kebayang nggak bibir saya kayak apa, setelah  ngomong 3 jam full. Cara gampangnya lu bayangin aja Omas kena bibir sumbing terus disengat lebah Afrika. 

Kebayang nggak ?

Serem kan.

Tapi, saya sangat bersyukur bisa punya pekerjaan seperti ini. Disaat teman-teman sebaya saya harus berjuang menyambung hidup dengan cara yang lebih marjinal.

Bersyukur saya bisa mempunyai pekerjaan full-time tapi berasa part-time, dan saya bisa melakukan banyak kegiatan lain.

Bersyukur juga, bisa mempunyai pekerjaan yang tidak pernah saya rasakan bosan. Setiap hari berlangsung terus menerus. Raisa pernah bilang, ‘kalau kita bekerja dengan passion, biasanya kita nggak akan pernah ngerasa bosan. Bekerja berasa kayak mainan aja. Feel enjoy..

Hup, apa yang Raisa bilang itulah yang saat ini saya rasakan.

Well, sebenernya saya sedikitpun nggak pernah kepikrian bakal punya profesi seperti ini. Saya hanya anak kampung, tinggal jauh dari keramaian kota. Bahkan untuk sekedar bepergian saja, harus mendaki gunung dan melewati lembah segala. Btw, ini lagi ngomongin saya apa Ninja Hatori sik...?

Beda tipis.

Kebetulan saya besar dalam lingkungan yang waktu itu lebih banyak Radio-nya daripada TV. Maap-maap kate, saya 90’s sob.. sekarang cerita sudah beda. Tapi bagi saya Radio tetap menjadi alternatif hiburan saat santai di rumah, teman mengerjakan tugas kuliah, nulis blog, atau proyek-proyek pribadi saya lainnya.

Saat saya masih menjadi pendengar, radio menjadi teman dekat yang tidak pernah marah. Dia hanya menghibur, terus menerus, sesekali berhasil menebak apa yang saya rasakan. 


Tahu nggak sih lo, momen terbaik sebagai penikmat radio adalah saat apa yang kita rasakan ternyata dibahas oleh penyiar. Misalnya, lu lagi galau, dan saat itu juga ada penyiar bahas masalah ke-galauan, terus dia nge-play lagu galau, Wiuidih saya jamin pasti lu langsung nyanyi-nyanyi kecil dengan bibir kaku dan mata nanar,sambil meluk radio.

*hening*

Kok bisa lu jadi penyiar Yon ?

Kalau lu tanya gitu, saya kasih tahu ya, itu adalah pertanyaan kesekian ribu yang meluncur ke telinga saya. Saya sendiri jawabnya juga bingung sih, kok bisa ya..?

*garuk-garuk kepala yg nggak gatel*

Okeh, gini. Kalau dibilang nggak niat jadi penyiar, juga nggak pas. Soalnya, saya sempat beberapa kali ikut seleksi di radio swasta lain, tapi berujung tragis.

Saking tragisnya, saya sampai hopeless dan memutuskan nggak usah jadi begitu-begituan ah. Saat saya udah nggak peduli lagi sama begituan, kampretnya ada lowongan penyiar radio lagi. Kali ini dari Radio Bimasakti. Berhubung iman saya gampang goyah dan ada tanggungan bayar kuliah, akhirnya saya tergiur mengikuti seleksi lagi. #KokCurcol

Kalau boleh jujur, waktu itu bener-bener dah nggak niat. Saya berangkat seleksi dengan seadanya, kebetulan saya ditemenin sama Radil. Tiba di Bimasakti saya langsung mengisi data hadir peserta seleksi. Dapat nomor 14, kalau nggak salah.

Saya dan Radil pun harus mengantri, waktu itu lumayan banyak pesertanya. Ya, kalau diitung-itung sih jumlah pesertanya cukup memenuhi standar kalau digunain untuk tawuran sama anak STM.

Nunggu sampai nomor 14 ternyata lama juga. Lamanya sama kayak nunggu tukang siomay lewat jam 3 dinihari. (Btw, penjual siomay macam apa yang jualan jam 3 dinihari..!?)

Akhirnya, sampai juga nomor 14. Saya pun masuk ke dalam ruangan seleksi. sesampainya di dalam, saya duduk tepat didepan microphone. Sebuah komputer tua berada disamping kanan saya. Sedangkan di samping kiri saya ada speaker dan amplifier. Lalu saya diberi instruksi oleh sesorang pria yang cukup berumur, gaya bicaranya blak-blakan, dan orangnya cucok cin. J dialah yang pada akhirnya saya kenal sebagai, Feril.

Dia memberikan saya selembar kertas yang berisi narasi info seputar selebritis. Narasi tersebut dalam dua jenis: berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selanjutnya saya diarahkan untuk mempelajari naskah tersebut. Kemudian setelah saya siap, proses rekaman pun dimulai. Saya membaca naskah itu di depan microphone dengan hati-hati. Waktu itu, cara saya membaca naskah beda tipis lah sama Putra Nababan lagi kena penyakit amandel.

Seingat saya, nggak butuh waktu lama untuk membaca naskah itu. Apakah karena saya membaca dengan mudahnya ? enggak juga. Lebih tepatnya karena teralalu pusing, jadi pengin cepat-cepat keluar dari ruang rekaman.

*langsung ngacir*

Setelah hari seleksi, jujur saya pribadi nggak terlalu berharap sama hasilnya. Bahkan saya sangat pesimis bisa diterima, karena saat seleksi merasa sangat kurang maksimal. Saking pesimisnya saya dan Radil sempat mencak-mencak ngambek nggak jelas ke diri sendiri. Persis kayak orang gila kehabisan obat.

Lalu semuanya benar-benar terjadi diluar dugaan pakar BMKG. Saya dapat sms pemberitahuan untuk dateng lagi ke Radio Bimasakti.

Apaaaah..? Serius loh..? ngapain saya disuruh ke Bimasakti lagi..? Dompet saya ketinggalan ? enggak juga. 

Lalu ? ngapain coba..?

Saya diterima ? Ah nggak lucu, masa saya diterima. Mustahil.!

18 September 2013 

Saya baru saja menandatangani perjanjian kontrak untuk satu tahun bekerja disini. Radio Bimasakti.

Pria berperawakan tinggi, kurus, dan berkulit cerah yang duduk di depan saya, bergantian manandatangani surat tersebut. “Terimakasih, besok kamu mulai bekerja disini..” kata pria itu, yang pada akhirnya saya kenal sebagai mas Erwin.

“Sama-sama mas..” jawabku sambil tersenyum.

Hati saya bersorak ‘selamat datang disini, pekerjaan resmi pertamamu, semoga kamu banyak belajar dari sini..’

18 September 2014 

Tengah malam setelah saya selesai siaran, saya membuka laptop. Lalu membuka draft blog, mencoba melanjutkan tulisan yang sempat tertunda. Tulisan tentang perjalanan satu tahun saya menjadi penyiar disini.

Nggak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Perasaan, baru kemarin sore saya menandatangani kontrak kerja bersama mas Erwin. Eh tahu-tahu, kejadian itu sudah terjadi 12 bulan yang lalu. Perasaan baru kemarin siang, saya masuk masa training sebagai penyiar. Eh, tahu-tahu dah bongkotan disini. Perasaan, tadi saya baru masuk kamar mandi, kok sekarang mau ke kamar mandi lagi. *loh (itu lo lagi mencreeet keles.!)

Kalau ditanya berapa banyak cerita yang sudah didapat dari pekerjaan ini.? saya jawab, banyak banget.

Saya jadi ingat, kapan momen pertama saya mengudara waktu itu. Sangat gugup, kurang pede, dan malu-maluin. 

Ingat juga saat saya harus bangun pagi-pagi banget. Saat ayam belum bangun, saya sudah harus berangkat siaran. Persis seperti penjual sayuran segar di pasar pagi. Ingat pula, saat saya harus pulang tengah malam, motor bocor dijalan saat semua ‘tukang’ bengkel sedang mendengkur dengan merdunya.

Pernah juga, saya dikirim ke kota sebelah untuk siaran sehari. Sekedar mengisi kekosongan penyiar. Kemudian, pergi ke sekolah satu dan ke sekolah lainnya, mengisi kegiatan radio goes to school. 

Seru, ketika saya bertemu langsung dengan pendengar-pendengar saya. Mendengar komentar mereka tentang siaran saya. Ada juga beberapa pendengar yang datang tengah malam untuk sekedar bertemu.

Gaees, itu adalah suntikan energi untuk penyiar, ketika gaji tak kunjung naik lagi. *eh

Cerita semakin menarik, ketika saya mengingat perjuangan all crew Bimasakti harus berjuang bersama-sama menggelar nobar (nonton bareng) bola jam 3 dinihari. Awalnya sangat pesimis, mengingat Kebumen adalah kota kecil. Sepertinya mustahil bisa mengadakan acara off air jam segitu. Namun, semuanya terjadi diluar dugaan, acara nobar sukses besar. Ratusan warga hadir dalam off air itu.

Selama setahun ini saya juga jadi belajar banyak hal dari mereka yang senior. Belajar bagaimana tekhnik announcing skill yang baik. Belajar bagaimana menulis naskah berita yang ‘kiss’ (keep it short simple). Belajar bekerja keras, saat semua orang libur kerja dan berkumpul bersama keluarga, saya masih harus bekerja.



Lalu cerita menjadi sedikit lucu, ketika saya mengingat ekspresi teman-teman lama saat pertama kali mendengar siaran saya. Pasti respon mereka adalah ‘nggak percaya’, ‘nggak nyangka’, ‘itu bukan suara lo’, ‘lo berdusta bawa nama-nama agama..’ dan banyak ekspresi aneh lainnya.

Bahkan ada yang saking nggak percayanya. Doi baru mau percaya, kalau sudah diajakin ke studio dan lihat langsung saya sedang siaran. Faaaak. 

Itu nggak saya turutin.

Saya akui, banyak yang nggak nyangka saya bakal jadi penyiar. Terlebih orang-orang terdekat saya, baik itu teman SMA, tetangga, dan teman kuliah. Ketika mereka baru tahu saya penyiar, mereka langsung menatap saya dengan tatapan aneh. Seolah-olah tatapan mereka berkata “Masa sih, kutukupret begini bisa jadi penyiar. Nggak mungkin..! Dunia ini nggak adil..!

*hening*

Semakin kesini saya semakin terbiasa dengan ekspresi orang-orang terdekat saat baru tahu bahwa saya penyiar. 

Tapi, meskipun saya sudah setahun disini. Saya masih saja belum mau jujur saat orang-orang bertanya apa pekerjaan saya ? Pertanyaan seperti ini sering saya dapatkan saat saya harus mengantri di bank, saat saya potong rambut, saat saya di pasar, dan saat saya di kuburan. (Ngapain..!!!?)

Jujur, saya lebih memilih menjawab: ‘kerja serabutan pak’, ‘karyawan swasta pak’, atau bahkan jawaban yang paling non-mainstream: ‘saya kuli panggul pak’.

Sayangnya, ketika saya menggunakan pilihan jawaban ketiga itu, banyak yang nggak percaya. Mungkin karena paras saya kayak personil boyband. Iya, seperti personil boyband kesamber petir !

Intinya masih banyak lagi cerita-cerita yang saya dapatkan selama ini. Mungkin butuh berlembar-lembar kertas untuk menulis semuanya. Butuh bergelas-gelas kopi untuk teman menulis semua ceritanya.

Lalu saat saya sudah berjalan sejauh ini, ada seseorang yang bertanya secara pribadi. “Apa iya kamu bakal jadi penyiar terus..?”

Simpel tapi dalam. 

Untuk menjawab itu, saya harus menengadahkan kepala ke langit, melihat jauh ketas, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, dan tersenyum barang sedetik.

‘Saya sudah punya jawabannya, dan untuk saat ini, cukup saya saja yang tahu...’  

@Dionbimasakti

Isee u...