Jangan
dikira jadi penyiar itu gampang. Nih saya baru saja selesai siaran 3 jam.
Kebayang nggak bibir saya kayak apa, setelah
ngomong 3 jam full. Cara
gampangnya lu bayangin aja Omas kena bibir sumbing terus disengat lebah Afrika.
Kebayang
nggak ?
Serem
kan.
Tapi,
saya sangat bersyukur bisa punya pekerjaan seperti ini. Disaat teman-teman
sebaya saya harus berjuang menyambung hidup dengan cara yang lebih marjinal.
Bersyukur
saya bisa mempunyai pekerjaan full-time tapi
berasa part-time, dan saya bisa melakukan
banyak kegiatan lain.
Bersyukur
juga, bisa mempunyai pekerjaan yang tidak pernah saya rasakan bosan. Setiap
hari berlangsung terus menerus. Raisa pernah bilang, ‘kalau kita bekerja dengan passion, biasanya kita nggak akan pernah
ngerasa bosan. Bekerja berasa kayak mainan aja. Feel enjoy..”
Hup,
apa yang Raisa bilang itulah yang saat ini saya rasakan.
Well, sebenernya
saya sedikitpun nggak pernah kepikrian bakal punya profesi seperti ini. Saya
hanya anak kampung, tinggal jauh dari keramaian kota. Bahkan untuk sekedar
bepergian saja, harus mendaki gunung dan melewati lembah segala. Btw, ini lagi
ngomongin saya apa Ninja Hatori sik...?
Beda
tipis.
Kebetulan
saya besar dalam lingkungan yang waktu itu lebih banyak Radio-nya daripada TV.
Maap-maap kate, saya 90’s sob.. sekarang cerita sudah beda. Tapi bagi saya
Radio tetap menjadi alternatif hiburan saat santai di rumah, teman mengerjakan
tugas kuliah, nulis blog, atau proyek-proyek pribadi saya lainnya.
Saat
saya masih menjadi pendengar, radio menjadi teman dekat yang tidak pernah
marah. Dia hanya menghibur, terus menerus, sesekali berhasil menebak apa yang
saya rasakan.
Tahu
nggak sih lo, momen terbaik sebagai penikmat radio adalah saat apa yang kita
rasakan ternyata dibahas oleh penyiar. Misalnya, lu lagi galau, dan saat itu
juga ada penyiar bahas masalah ke-galauan, terus dia nge-play lagu galau,
Wiuidih saya jamin pasti lu langsung nyanyi-nyanyi kecil dengan bibir kaku dan
mata nanar,sambil meluk radio.
*hening*
Kok
bisa lu jadi penyiar Yon ?
Kalau
lu tanya gitu, saya kasih tahu ya, itu adalah pertanyaan kesekian ribu yang
meluncur ke telinga saya. Saya sendiri jawabnya juga bingung sih, kok bisa ya..?
*garuk-garuk
kepala yg nggak gatel*
Okeh,
gini. Kalau dibilang nggak niat jadi penyiar, juga nggak pas. Soalnya, saya
sempat beberapa kali ikut seleksi di radio swasta lain, tapi berujung tragis.
Saking
tragisnya, saya sampai hopeless dan
memutuskan nggak usah jadi begitu-begituan ah. Saat saya udah nggak peduli lagi
sama begituan, kampretnya ada lowongan penyiar radio lagi. Kali ini dari Radio
Bimasakti. Berhubung iman saya gampang goyah dan ada tanggungan bayar kuliah,
akhirnya saya tergiur mengikuti seleksi lagi. #KokCurcol
Kalau
boleh jujur, waktu itu bener-bener dah nggak niat. Saya berangkat seleksi
dengan seadanya, kebetulan saya ditemenin sama Radil. Tiba di Bimasakti saya
langsung mengisi data hadir peserta seleksi. Dapat nomor 14, kalau nggak salah.
Saya
dan Radil pun harus mengantri, waktu itu lumayan banyak pesertanya. Ya, kalau
diitung-itung sih jumlah pesertanya cukup memenuhi standar kalau digunain untuk
tawuran sama anak STM.
Nunggu
sampai nomor 14 ternyata lama juga. Lamanya sama kayak nunggu tukang siomay
lewat jam 3 dinihari. (Btw, penjual siomay macam apa yang jualan jam 3
dinihari..!?)
Akhirnya,
sampai juga nomor 14. Saya pun masuk ke dalam ruangan seleksi. sesampainya di
dalam, saya duduk tepat didepan microphone.
Sebuah komputer tua berada disamping kanan saya. Sedangkan di samping kiri saya
ada speaker dan amplifier. Lalu saya diberi instruksi oleh sesorang pria yang cukup
berumur, gaya bicaranya blak-blakan,
dan orangnya cucok cin. J
dialah yang pada akhirnya saya kenal sebagai, Feril.
Dia
memberikan saya selembar kertas yang berisi narasi info seputar selebritis. Narasi
tersebut dalam dua jenis: berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selanjutnya
saya diarahkan untuk mempelajari naskah tersebut. Kemudian setelah saya siap,
proses rekaman pun dimulai. Saya membaca naskah itu di depan microphone dengan hati-hati. Waktu itu, cara
saya membaca naskah beda tipis lah sama Putra Nababan lagi kena penyakit
amandel.
Seingat
saya, nggak butuh waktu lama untuk membaca naskah itu. Apakah karena saya
membaca dengan mudahnya ? enggak juga. Lebih tepatnya karena teralalu pusing,
jadi pengin cepat-cepat keluar dari ruang rekaman.
*langsung
ngacir*
Setelah
hari seleksi, jujur saya pribadi nggak terlalu berharap sama hasilnya. Bahkan
saya sangat pesimis bisa diterima, karena saat seleksi merasa sangat kurang
maksimal. Saking pesimisnya saya dan Radil sempat mencak-mencak ngambek nggak
jelas ke diri sendiri. Persis kayak orang gila kehabisan obat.
Lalu
semuanya benar-benar terjadi diluar dugaan pakar BMKG. Saya dapat sms
pemberitahuan untuk dateng lagi ke Radio Bimasakti.
Apaaaah..?
Serius loh..? ngapain saya disuruh ke Bimasakti lagi..? Dompet saya ketinggalan
? enggak juga.
Lalu
? ngapain coba..?
Saya
diterima ? Ah nggak lucu, masa saya diterima. Mustahil.!
18
September 2013
Saya
baru saja menandatangani perjanjian kontrak untuk satu tahun bekerja disini.
Radio Bimasakti.
Pria
berperawakan tinggi, kurus, dan berkulit cerah yang duduk di depan saya,
bergantian manandatangani surat tersebut. “Terimakasih, besok kamu mulai
bekerja disini..” kata pria itu, yang pada akhirnya saya kenal sebagai mas
Erwin.
“Sama-sama
mas..” jawabku sambil tersenyum.
Hati
saya bersorak ‘selamat datang disini, pekerjaan resmi pertamamu, semoga kamu
banyak belajar dari sini..’
18
September 2014
Tengah
malam setelah saya selesai siaran, saya membuka laptop. Lalu membuka draft
blog, mencoba melanjutkan tulisan yang sempat tertunda. Tulisan tentang
perjalanan satu tahun saya menjadi penyiar disini.
Nggak
terasa, waktu begitu cepat berlalu. Perasaan, baru kemarin sore saya
menandatangani kontrak kerja bersama mas Erwin. Eh tahu-tahu, kejadian itu
sudah terjadi 12 bulan yang lalu. Perasaan baru kemarin siang, saya masuk masa training sebagai penyiar. Eh, tahu-tahu
dah bongkotan disini. Perasaan, tadi saya baru masuk kamar mandi, kok sekarang
mau ke kamar mandi lagi. *loh (itu lo lagi mencreeet keles.!)
Kalau
ditanya berapa banyak cerita yang sudah didapat dari pekerjaan ini.? saya
jawab, banyak banget.
Saya
jadi ingat, kapan momen pertama saya mengudara waktu itu. Sangat gugup, kurang
pede, dan malu-maluin.
Ingat
juga saat saya harus bangun pagi-pagi banget. Saat ayam belum bangun, saya
sudah harus berangkat siaran. Persis seperti penjual sayuran segar di pasar
pagi. Ingat pula, saat saya harus pulang tengah malam, motor bocor dijalan saat
semua ‘tukang’ bengkel sedang mendengkur dengan merdunya.
Pernah
juga, saya dikirim ke kota sebelah untuk siaran sehari. Sekedar mengisi
kekosongan penyiar. Kemudian, pergi ke sekolah satu dan ke sekolah lainnya,
mengisi kegiatan radio goes to school.
Seru,
ketika saya bertemu langsung dengan pendengar-pendengar saya. Mendengar
komentar mereka tentang siaran saya. Ada juga beberapa pendengar yang datang
tengah malam untuk sekedar bertemu.
Gaees,
itu adalah suntikan energi untuk penyiar, ketika gaji tak kunjung naik lagi.
*eh
Cerita
semakin menarik, ketika saya mengingat perjuangan all crew Bimasakti harus
berjuang bersama-sama menggelar nobar (nonton bareng) bola jam 3 dinihari.
Awalnya sangat pesimis, mengingat Kebumen adalah kota kecil. Sepertinya
mustahil bisa mengadakan acara off air jam
segitu. Namun, semuanya terjadi diluar dugaan, acara nobar sukses besar.
Ratusan warga hadir dalam off air itu.
Selama
setahun ini saya juga jadi belajar banyak hal dari mereka yang senior. Belajar
bagaimana tekhnik announcing skill yang
baik. Belajar bagaimana menulis naskah berita yang ‘kiss’ (keep it short simple). Belajar bekerja keras, saat semua orang
libur kerja dan berkumpul bersama keluarga, saya masih harus bekerja.
Lalu
cerita menjadi sedikit lucu, ketika saya mengingat ekspresi teman-teman lama saat
pertama kali mendengar siaran saya. Pasti respon mereka adalah ‘nggak percaya’,
‘nggak nyangka’, ‘itu bukan suara lo’, ‘lo berdusta bawa nama-nama agama..’ dan
banyak ekspresi aneh lainnya.
Bahkan
ada yang saking nggak percayanya. Doi baru mau percaya, kalau sudah diajakin ke
studio dan lihat langsung saya sedang siaran. Faaaak.
Itu
nggak saya turutin.
Saya
akui, banyak yang nggak nyangka saya bakal jadi penyiar. Terlebih orang-orang
terdekat saya, baik itu teman SMA, tetangga, dan teman kuliah. Ketika mereka
baru tahu saya penyiar, mereka langsung menatap saya dengan tatapan aneh.
Seolah-olah tatapan mereka berkata “Masa
sih, kutukupret begini bisa jadi penyiar. Nggak mungkin..! Dunia ini nggak
adil..!”
*hening*
Semakin
kesini saya semakin terbiasa dengan ekspresi orang-orang terdekat saat baru
tahu bahwa saya penyiar.
Tapi,
meskipun saya sudah setahun disini. Saya masih saja belum mau jujur saat
orang-orang bertanya apa pekerjaan saya ? Pertanyaan seperti ini sering saya
dapatkan saat saya harus mengantri di bank, saat saya potong rambut, saat saya
di pasar, dan saat saya di kuburan. (Ngapain..!!!?)
Jujur,
saya lebih memilih menjawab: ‘kerja serabutan pak’, ‘karyawan swasta pak’, atau
bahkan jawaban yang paling non-mainstream: ‘saya kuli panggul pak’.
Sayangnya,
ketika saya menggunakan pilihan jawaban ketiga itu, banyak yang nggak percaya.
Mungkin karena paras saya kayak personil boyband. Iya, seperti personil boyband
kesamber petir !
Intinya
masih banyak lagi cerita-cerita yang saya dapatkan selama ini. Mungkin butuh
berlembar-lembar kertas untuk menulis semuanya. Butuh bergelas-gelas kopi untuk
teman menulis semua ceritanya.
Lalu
saat saya sudah berjalan sejauh ini, ada seseorang yang bertanya secara
pribadi. “Apa iya kamu bakal jadi penyiar terus..?”
Simpel
tapi dalam.
Untuk
menjawab itu, saya harus menengadahkan kepala ke langit, melihat jauh ketas,
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, dan tersenyum barang sedetik.
‘Saya
sudah punya jawabannya, dan untuk saat ini, cukup saya saja yang tahu...’
@Dionbimasakti
Isee
u...